BUSANA LITURGI
Setelah
disahkannya kekristenan pada tahun 313M, Gereja terus menyempurnakan
“siapa mengenakan apa, bilamana, dan bagaimana” hingga sekitar tahun 800
ketika norma-norma liturgis perihal busana pada dasarnya distandarisasi
dan tetap sama hingga pembaharuan sesudah Konsili Vatikan Kedua. Untuk
itu marilah kita lihat bersama terdiri dari apa saja pakaian yang
dikenakan imam saat memimpin ekaristi satu persatu.
AMIK (Tanda Perlindungan)
Tujuan praktis amik
adalah untuk menutupi jubah biasa imam, dan untuk menyerap keringat
dari kepala dan leher. Di kalangan Graeco-Romawi, amik adalah penutup
kepala, seringkali dikenakan di bawah topi baja para prajurit Romawi
untuk menyerap keringat, dengan demikian mencegah keringat menetes ke
mata.
Tujuan rohani amik adalah mengingatkan imam akan nasehat St Paulus, “Terimalah ketopong keselamatan dan pedang Roh, yaitu firman Allah” (Ef 6:17).
Doa ketika mengenakan amik:
“Tuhan, letakkanlah pelindung keselamatan pada kepalaku untuk menangkis segala serangan setan.”
“Tuhan, letakkanlah pelindung keselamatan pada kepalaku untuk menangkis segala serangan setan.”
ALBA (Citra Kekudusan)
Alba
adalah pakaian putih panjang hingga sebatas pergelangan kaki, dan
memiliki lengan panjang hingga pergelangan tangan. Kata alba dalam
bahasa Latin artinya “putih”.
Alba
adalah pakaian luar yang umum dikenakan di kalangan Graeco-Romawi dan
mirip dengan soutane yang dikenakan di Timur Tengah. Tetapi, mereka yang
berwenang mengenakan alba dengan kualitas yang lebih baik dengan aneka
sulaman atau gambar. Beberapa alba modern memiliki kerah sehingga amik
tidak diperlukan lagi.
Tujuan
rohani alba adalah mengingatkan imam akan pembaptisannya, saat kain
putih diselubungkan padanya guna melambangkan kemerdekaannya dari dosa,
kemurnian hidup baru, dan martabat Kristiani. Di samping itu, Kitab
Wahyu menggambarkan para kudus yang berdiri sekeliling altar Anak Domba
di surga sebagai “Orang-orang yang keluar dari kesusahan yang
besar; dan mereka telah mencuci jubah mereka dan membuatnya putih di
dalam darah Anak Domba” (7:14).
Demikian pula imam wajib mempersembahkan Misa dengan kemurnian tubuh dan jiwa, dan dengan kelayakan martabat imamat Kristus. Di beberapa negara tropis, termasuk Indonesia, jika tidak ada alba, maka dapat dipakai jubah yang berwarna putih.
Doa ketika mengenakan alba:
“Sucikanlah aku, ya Tuhan, dan bersihkanlah hatiku, agar aku boleh menikmati kebahagiaan kekal karena telah dibasuh dalam darah Anak Domba.”
“Sucikanlah aku, ya Tuhan, dan bersihkanlah hatiku, agar aku boleh menikmati kebahagiaan kekal karena telah dibasuh dalam darah Anak Domba.”
SINGEL (Tali Kesucian)
Singel
adalah tali yang tebal dan panjang dengan jumbai-jumbai pada kedua
ujungnya, yang diikatkan sekeliling pinggang untuk mengencangkan /
merapikan alba. Singel merupakan simbol nilai kemurnian hati dan
pengekangan diri. Singel dapat berwarna putih atau sesuai dengan warna
masa liturginya. Di kalangan Graeco-Romawi, singel adalah bagaikan ikat
pinggang.
Tujuan
rohani singel adalah mengingatkan imam akan nasehat St Petrus, “Sebab
itu siapkanlah akal budimu, waspadalah dan letakkanlah pengharapanmu
seluruhnya atas kasih karunia yang dianugerahkan kepadamu pada waktu
penyataan Yesus Kristus. Hiduplah sebagai anak-anak yang taat dan jangan
turuti hawa nafsu yang menguasai kamu pada waktu kebodohanmu, tetapi
hendaklah kamu menjadi kudus di dalam seluruh hidupmu sama seperti Dia
yang kudus, yang telah memanggil kamu” (1 Pet 1:13-15).
Doa ketika mengenakan singel:
“Tuhan, kuatkanlah aku dengan tali kesucian ini dan padamkanlah hasrat ragawiku, agar kebajikan pengekangan diri dan kemurnian hati dapat tinggal dalam diriku.”
“Tuhan, kuatkanlah aku dengan tali kesucian ini dan padamkanlah hasrat ragawiku, agar kebajikan pengekangan diri dan kemurnian hati dapat tinggal dalam diriku.”
STOLA (Lambang Penugasan Resmi)
Stola
adalah semacam selendang panjang, kira-kira 4 inci (± 10 cm) lebarnya,
warnanya sama dengan kasula, yang dikalungkan pada leher. Stola
diikatkan di pinggang dengan singel. Stola merupakan simbol bahwa
pemakainya sedang melaksanakan tugas resmi Gereja, terutama menyangkut
tugas pengudusan (imamat). Secara khusus, sesuai dengan doa ketika
mengenakannya, stola dimaknai sebagai simbol kekekalan.
Sebelum
pembaharuan Konsili Vatikan Kedua, stola disilangkan di dada imam untuk
melambangkan salib. Stola juga berasal dari budaya masa lampau. Para
rabi mengenakan selendang doa dengan jumbai-jumbai sebagai tanda
otoritas mereka.
Stola
yang disilangkan juga merupakan simbolisme dari ikat pinggang bersilang
yang dikenakan para prajurit Romawi: satu ikat pinggang dengan pedang
di pinggang, dan ikat pinggang lainnya dengan kantong perbekalan,
misalnya air dan makanan.
Dalam
arti ini, stola mengingatkan imam bukan hanya pada otoritas dan
martabatnya sebagai imam, melainkan juga tugas kewajibannya untuk
mewartakan Sabda Allah dengan gagah berani dan penuh keyakinan (“Sebab
firman Allah hidup dan kuat dan lebih tajam dari pada pedang bermata dua
manapun” Ibr 4:12) dan untuk melayani kebutuhan umat beriman. Sekarang,
imam mengenakan stola yang dikalungkan pada leher dan ujungnya
dibiarkan menggantung, tidak disilangkan.
Stola yang sempit biasanya dikenakan di dalam kasula, sedangkan stola yang lebar dikenakan di atas kasula.
Doa ketika mengenakan stola:
“Ya Tuhan, kenakanlah kembali stola kekekalan ini, yang telah hilang karena perbuatan para leluhur kami, dan perkenankanlah aku meraih hidup kekal meski aku tak pantas menghampiri misteri-Mu yang suci.
“Ya Tuhan, kenakanlah kembali stola kekekalan ini, yang telah hilang karena perbuatan para leluhur kami, dan perkenankanlah aku meraih hidup kekal meski aku tak pantas menghampiri misteri-Mu yang suci.
KASULA (Lambang Cinta dan Pengorbanan)
Kasula,
disebut juga planeta, adalah pakaian luar yang dikenakan di atas alba
dan stola. Kasula merupakan busana khas imam, khususnya selebran dan
konselebran utama, yang dipakai untuk memimpin Perayaan Ekaristi. Kasula
melambangkan keutamaan cinta kasih dan ketulusan untuk melaksanakan
tugas yang penuh pengorbanan diri bagi Tuhan.
Selama
berabad-abad model kasula telah mengalami beberapa perubahan dan
variasi. Kasula berasal dari kata Latin “casula” yang artinya “rumah”;
kasula di kalangan Graeco-Romawi serupa sebuah mantol tanpa lengan yang
sepenuhnya menutupi tubuh dan melindungi si pemakai dari cuaca buruk.
Tujuan rohani kasula adalah mengingatkan imam akan kasih dan pengurbanan
Kristus, “Dan di atas semuanya itu: kenakanlah kasih, sebagai pengikat
yang mempersatukan dan menyempurnakan” (Kol 3:14).
Doa ketika mengenakan kasula:
“Ya Tuhan, Engkau pernah bersabda: `kuk yang Ku-pasang itu enak dan beban-Ku pun ringan.' Buatlah aku sanggup mengenakan pakaian ini agar dapat memperoleh rahmatmu. Amin.”
“Ya Tuhan, Engkau pernah bersabda: `kuk yang Ku-pasang itu enak dan beban-Ku pun ringan.' Buatlah aku sanggup mengenakan pakaian ini agar dapat memperoleh rahmatmu. Amin.”
Pada intinya, busana-busana liturgis yang dikenakan dalam perayaan Misa memiliki dua tujuan utama yaitu :
- “Gereja adalah Tubuh Kristus. Dalam Tubuh itu tidak semua anggota menjalankan tugas yang sama. Dalam perayaan Ekaristi, tugas yang berbeda-beda itu dinyatakan lewat busana liturgis yang berbeda-beda. Jadi, busana itu hendaknya menandakan tugas khusus masing-masing pelayan. Di samping itu, busana liturgis juga menambah keindahan perayaan liturgis” (PUMR 335).
- busana liturgis mengilhami imam dan semua umat beriman untuk merenungkan arti simboliknya yang kaya makna.
WARNA LITURGI
Penjelasan berikut disampaikan berdasarkan norma-norma Pedoman Umum Misale Romawi no 345-347.
PUTIH atau KUNING
Melambangkan sukacita dan kemurnian jiwa, dikenakan sepanjang Masa Natal dan Masa Paskah.
Busana liturgis putih juga dikenakan pada perayaan-perayaan Tuhan Yesus (kecuali peringatan sengsara-Nya); begitu pula pada pesta
Santa Perawan Maria, para malaikat, para kudus yang bukan martir, pada
Hari Raya Semua Orang Kudus (1 November), Kelahiran St Yohanes Pembaptis
(24 Juni), Pesta St Yohanes Pengarang Injil (27 Desember), Pesta Tahta
St Petrus Rasul (22 Februari) dan Pesta Bertobatnya St Paulus Rasul (25
Januari).
Putih juga dapat dikenakan pada Misa Pemakaman Kristiani dan Misa Arwah guna melambangkan kebangkitan Tuhan kita, ketika Ia menang atas dosa dan maut, kesusahan dan kegelapan.
MERAH
Di
satu pihak, merah melambangkan pencurahan darah; di lain pihak, merah
juga melambangkan api kasih Allah yang bernyala-nyala. Karenanya, busana
liturgis merah dikenakan pada hari Minggu Palma (ketika Kristus
memasuki Yerusalem untuk menyongsong kematian-Nya), pada hari Jumat
Agung, pada hari Minggu Pentakosta (ketika Roh Kudus turun atas para
rasul dan lidah-lidah api hinggap di atas kepala mereka), dalam
perayaan-perayaan Sengsara Tuhan, pada pesta para rasul dan pengarang
Injil (terkecuali St Yohanes yang tidak mengalami kemartiran), dan pada perayaan-perayaan para martir.
HIJAU
Dikenakan
sepanjang masa liturgi yang disebut Masa Biasa. Masa Biasa berfokus
pada masa tiga tahun pewartaan Tuhan kita di depan publik, dan ayat-ayat
Injil, teristimewa pada hari-hari Minggu, mengisahkan ajaran-ajaran,
mukjizat-mukjizat, pengusiran setan dan perbuatan-perbuatan baik lain
yang dilakukan-Nya selama masa itu.
Segala
pengajaran dan peristiwa ini mendatangkan pengharapan besar dalam
misteri keselamatan. Kita berfokus pada hidup-Nya yang Ia bagi bersama
umat manusia semasa hidup-Nya di dunia ini, hidup yang sekarang kita
bagi bersama-Nya dalam komunitas Gereja dan melalui
sakramen-sakramen-Nya, dan kita menanti dengan rindu berbagi hidup abadi
bersama-Nya dalam kesempurnaan di surga. Hijau melambangkan pengharapan
dan hidup ini, sama seperti tunas-tunas hijau yang menyembul di antara
pepohonan yang tandus di awal musim semi membangkitkan pengharapan akan
hidup baru.
UNGU
dikenakan selama Masa Adven dan Masa Prapaskah sebagai tanda pertobatan, kurban dan persiapan. Di pertengahan dari masing-masing masa ini: pada hari Minggu Gaudete (Minggu Adven III) dan hari Minggu Laetare (Minggu Prapaskah IV) - busana liturgis berwarna JINGGA biasa dikenakan sebagai tanda sukacita.
Kita
bersukacita di pertengahan masa ini karena kita telah melewati separuh
persiapan kita dan sekarang mengantisipasi kedatangan sukacita Natal
atau Paskah.
Beberapa
ahli liturgi, khususnya di Gereja Episcopal, memperkenalkan busana
liturgis berwarna biru sepanjang Masa Adven guna membedakannya dari Masa
Prapaskah; namun demikian, tidak ada persetujuan yang diberikan oleh
Gereja Katolik untuk busana liturgis berwarna biru ini. Ungu dapat juga
dikenakan pada Misa Pemakaman Kristiani atau Misa Arwah.
walau sekarang jarang sekali dipergunakan, dapat dikenakan pada Misa Pemakaman Kristiani sebagai tanda maut dan duka. Hitam dapat juga dikenakan pada Peringatan Arwah Semua Orang Beriman atau Misa Arwah, misalnya pada hari peringatan kematian orang yang kita kasihi.
Pada
dasarnya, keanekaragaman warna busana liturgis berupaya membangkitkan
kesadaran kita akan masa-masa kudus; suatu upaya lahiriah lain untuk
menghadirkan misteri-misteri kudus yang kita rayakan.
0 komentar:
Posting Komentar