Dari YESAYA: www.indocell.net/yesaya:
Masa Prapaskah adalah masa pertumbuhan jiwa kita. Kadang-kadang jiwa
kita mengalami masa-masa kering di mana Tuhan terasa amat jauh. Masa
Prapaskah akan mengubah jiwa kita yang kering itu. Masa Prapaskah juga
membantu kita untuk mengatasi kebiasaan-kebiasaan buruk seperti
mementingkan diri sendiri dan suka marah.
Banyak orang
mengikuti retret setiap tahun. Retret itu semacam penyegaran jiwa. Kita
membebaskan diri dari segala beban dan segala rutinitas sehari-hari.
Tujuannya agar kita dapat meluangkan waktu untuk memikirkan dan
mendengarkan Tuhan. Kalian boleh menganggap Masa Prapaskah sebagai suatu
Retret Agung selama 40 hari. Yaitu saat untuk mengusir semua
kekhawatiran dan ketakutan kita supaya kita dapat memusatkan diri pada
Sahabat kita dan mempererat hubungan kita dengan-Nya. Sahabat itu, tentu
saja, adalah Tuhan. Kita dapat mempererat hubungan kita dengan-Nya
dengan berbicara kepada-Nya dan mendengarkan-Nya. Cara lain yang juga
baik adalah dengan membaca bagaimana orang lain membangun persahabatan
dengan Tuhan di masa silam. Kitab Suci adalah bacaan yang tepat atau
bisa juga kisah hidup para santo dan santa.
Akhirnya, hanya ada
dua kata untuk menyimpulkan apa itu Masa Prapaskah, yaitu: "NIAT" dan
"USAHA". Misalnya saja kita berniat untuk lebih mengasihi sesama, kita
juga berniat untuk tidak lagi menyakiti hati sesama. Salah satu alasan
mengapa kita gagal memenuhi niat kita itu adalah karena kita kurang
berusaha. Kitab Suci mengatakan "roh memang penurut, tetapi daging
lemah". Di sinilah peran Masa Prapaskah, yaitu membangun karakter yang
kuat. Kita berusaha untuk menguasai tubuh dan pikiran kita dengan
berlatih menguasai diri dalam hal-hal kecil. Oleh karena itulah kita
melakukan silih selama Masa Prapaskah. Kita berpantang permen atau rokok
atau pun pantang menonton program TV yang paling kita sukai. Dengan
berpantang kita belajar mengendalikan diri. Jika kita telah mampu
menguasai diri dalam hal-hal kecil, kita dapat meningkatkannya pada
hal-hal yang lebih serius.
Berlatih menguasai diri baru
sebagian dari usaha. Tidaklah cukup hanya berhenti melakukan suatu
kebiasaan buruk, tetapi kita juga harus memulai suatu kebiasaan baik
untuk menggantikan kebiasaan buruk kita itu. Misalnya saja membaca Kitab
Suci setiap hari, berdoa Rosario, menerima Komuni secara teratur. Jadi
jangan hanya duduk diam saja, LAKUKAN SESUATU. Mulailah Hari Rabu Abu
dengan menerima abu yang telah diberkati, lalu kemudian memulai hidup
baru bagi jiwamu!
sumber : P. Richard Lonsdale; Catholic1 Publishing Company; www.catholic1.com
»» READMORE...
Dari YESAYA: www.indocell.net/yesaya:
Rabu Abu adalah permulaan Masa Prapaskah, yaitu masa pertobatan,
pemeriksaan batin dan berpantang guna mempersiapkan diri untuk
Kebangkitan Kristus dan Penebusan dosa kita.
Mengapa pada Hari
Rabu Abu kita menerima abu di kening kita? Sejak lama, bahkan
berabad-abad sebelum Kristus, abu telah menjadi tanda tobat. Misalnya,
dalam Kitab Yunus dan Kitab Ester. Ketika Raja Niniwe mendengar nubuat
Yunus bahwa Niniwe akan ditunggangbalikkan, maka turunlah ia dari
singgasananya, ditanggalkannya jubahnya, diselubungkannya kain kabung,
lalu duduklah ia di abu. (Yunus 3:6). Dan ketika Ester menerima kabar
dari Mordekhai, anak dari saudara ayahnya, bahwa ia harus menghadap raja
untuk menyelamatkan bangsanya, Ester menaburi kepalanya dengan abu
(Ester 4C:13). Bapa Pius Parsch, dalam bukunya "The Church's Year of
Grace" menyatakan bahwa "Rabu Abu Pertama" terjadi di Taman Eden setelah
Adam dan Hawa berbuat dosa. Tuhan mengingatkan mereka bahwa mereka
berasal dari debu tanah dan akan kembali menjadi debu. Oleh karena itu,
imam atau diakon membubuhkan abu pada dahi kita sambil berkata:
"Ingatlah, kita ini abu dan akan kembali menjadi abu" atau "Bertobatlah
dan percayalah kepada Injil".
Abu yang digunakan pada Hari Rabu
Abu berasal dari daun-daun palma yang telah diberkati pada perayaan
Minggu Palma tahun sebelumnya yang telah dibakar. Setelah Pembacaan
Injil dan Homili abu diberkati. Abu yang telah diberkati oleh gereja
menjadi benda sakramentali.
Dalam upacara kuno, orang-orang
Kristen yang melakukan dosa berat diwajibkan untuk menyatakan tobat
mereka di hadapan umum. Pada Hari Rabu Abu, Uskup memberkati kain kabung
yang harus mereka kenakan selama empat puluh hari serta menaburi mereka
dengan abu. Kemudian sementara umat mendaraskan Tujuh Mazmur Tobat,
orang-orang yang berdosa berat itu diusir dari gereja, sama seperti Adam
yang diusir dari Taman Eden karena ketidaktaatannya. Mereka tidak
diperkenankan masuk gereja sampai Hari Kamis Putih setelah mereka
memperoleh rekonsiliasi dengan bertobat sungguh-sungguh selama empat
puluh hari dan menerima Sakramen Pengakuan Dosa. Sesudah itu semua umat,
baik umum maupun mereka yang baru saja memperoleh rekonsiliasi,
bersama-sama mengikuti Misa untuk menerima abu.
Sekarang semua
umat menerima abu pada Hari Rabu Abu. Yaitu sebagai tanda untuk
mengingatkan kita untuk bertobat, tanda akan ketidakabadian dunia, dan
tanda bahwa satu-satunya Keselamatan ialah dari Tuhan Allah kita.
sumber : Ask A Franciscan; St. Anthony Messenger Magazine; www.americancatholic.org.
»» READMORE...
Bagaimanakah asal-mula Masa Prapaskah? Apakah Gereja selalu merayakannya sebelum Paskah? ~ seorang pembaca di Falls Church
Masa Prapasakah merupakan masa istimewa untuk berdoa, bertobat,
bermatiraga dan melakukan karya belas kasihan sebagai persiapan
menyambut perayaan Paskah. Dalam kerinduannya untuk memperbaharui
praktek-praktek liturgi Gereja, Konstitusi tentang Liturgi Kudus Konsili
Vatikan II menyatakan, “Dua ciri khas Masa Prapaskah - mengenang atau
mempersiapkan pembaptisan, dan membina tobat - haruslah diberi penekanan
yang lebih besar dalam liturgi dan dalam katekese liturgi. Masa
Prapaskah merupakan sarana Gereja dalam mempersiapkan umat beriman untuk
merayakan Paskah, sementara mereka mendengarkan Sabda Tuhan dengan
lebih sering dan meluangkan lebih banyak waktu untuk berdoa.” (no. 109).
Sejak masa awal Gereja, terdapat bukti akan adanya semacam masa
persiapan menyambut Paskah. Sebagai contoh, St. Ireneus (wafat 203)
menulis kepada Paus St. Victor I, perihal perayaan Paskah dan
perbedaan-perbedaan dalam perayaannya antara Timur dan Barat, “Perbedaan
tidak hanya sebatas hari, tetapi juga ciri puasa yang sesungguhnya.
Sebagian berpendapat bahwa mereka wajib berpuasa selama satu hari,
sebagian berpuasa selama dua hari, lainnya lebih lama lagi; sebagian
menetapkan 'masa' mereka selama 40 jam. Berbagai perbedaan dalam
perayaan tersebut bukan berasal dari masa kita, melainkan jauh
sebelumnya, yaitu sejak masa para leluhur kita.” (Eusebius, Sejarah
Gereja, V, 24). Ketika Rufinus menerjemahkan bagian berikut ini dari
bahasa Yunani ke bahasa Latin, tanda baca yang dibubuhkan antara “40”
dan “jam” menjadikan maknanya tampak seperti “40 hari, dua puluh empat
jam sehari.” Namun demikian, maksud pernyataan di atas adalah bahwa
sejak masa “para leluhur kita” - sebutan bagi para rasul - suatu masa
persiapan selama 40 hari telah ada. Tetapi, praktek nyata dan lamanya
Masa Prapaskah masih belum seragam di seluruh Gereja. Masa
Prapaskah diatur secara lebih mantap setelah legalisasi agama Kristen
pada tahun 313. Konsili Nicea (tahun 325), dalam hukum kanonnya,
mencatat bahwa dua sinode provincial haruslah diselenggarakan setiap
tahun, “satu sebelum Masa Prapaskah selama 40 hari.” St. Atanasius
(wafat 373) dalam “Surat-surat Festal” meminta umatnya melakukan puasa
selama 40 hari sebelum puasa yang lebih khusuk selama Pekan Suci. St.
Sirilus dari Yerusalem (wafat 386) dalam Pelajaran Katekese, mengajukan
18 instruksi sebelum pembaptisan yang diberikan kepada para katekumen
selama Masa Prapaskah. St. Sirilus dari Alexandria (wafat 444) dalam
serial “Surat-surat Festal” juga mencatat praktek dan lamanya Masa
Prapaskah dengan menekankan masa puasa selama 40 hari. Dan akhirnya,
Paus St. Leo (wafat 461) menyampaikan khotbahnya bahwa umat beriman
wajib “melaksanakan puasa mereka sesuai tradisi Apostolik selama 40
hari”. Orang dapat menyimpulkan bahwa pada akhir abad keempat, masa
persiapan selama 40 hari menyambut Paskah yang disebut sebagai Masa
Prapaskah telah ada, dan bahwa doa dan puasa merupakan latihan-latihan
rohaninya yang utama. Tentu saja, angka “40” selalu mempunyai
makna spiritual khusus sehubungan dengan persiapan. Di gunung Sinai,
sebagai persiapan untuk menerima Sepuluh Perintah Allah, “Musa ada di
sana bersama-sama dengan TUHAN empat puluh hari empat puluh malam
lamanya, tidak makan roti dan tidak minum air” (Kel 34:28). Elia
berjalan selama “40 hari dan 40 malam” ke gunung Allah, yakni gunung
Horeb (nama lain Sinai) (1 Raj 19:8). Dan yang terutama, Yesus berpuasa
dan berdoa selama “40 hari dan 40 malam” di padang gurun sebelum Ia
memulai pewartaan-Nya di hadapan orang banyak (Mat 4:2). Begitu
Masa Prapaskah selama 40 hari ditetapkan, perkembangan berikutnya
adalah menyangkut berapa banyak puasa yang harus dilakukan. Di
Yerusalem, misalnya, orang berpuasa selama 40 hari, mulai hari Senin
hingga hari Jumat, tetapi tidak pada hari Sabtu dan hari Minggu, dengan
demikian Masa Prapaskah berlangsung selama delapan minggu. Di Roma dan
di Barat, orang berpuasa selama enam minggu, mulai hari Senin hingga
hari Sabtu, dengan demikian Masa Prapaskah berlangsung selama enam
minggu. Akhirnya, diberlakukan praktek puasa selama enam hari dalam satu
minggu, selama masa enam minggu, dan Rabu Abu ditetapkan untuk
menggenapkan hari-hari puasa sebelum Paskah menjadi 40 hari.
Peraturan-peraturan puasa bervariasi pula. Pertama, sebagian
wilayah Gereja berpantang dari segala bentuk daging dan produk hewani,
sementara yang lain berpantang makanan tertentu seperti ikan. Sebagai
contoh, Paus St. Gregorius (wafat 604), menulis kepada St. Agustinus
dari Canterbury, perihal peraturan berikut: “Kami berpantang lemak,
daging, dan segala makanan yang berasal dari hewan seperti susu, keju
dan telur.” Kedua, peraturan umum adalah orang makan satu kali dalam satu hari, yaitu pada sore hari atau pada pukul 3 petang.
Peraturan-peraturan puasa Masa Prapaskah juga mengalami perkembangan.
Pada akhirnya, makan sedikit pada waktu siang diperbolehkan guna menjaga
daya tahan tubuh selama melakukan pekerjaan sehari-hari. Makan ikan
diperbolehkan, dan akhirnya makan daging juga diperbolehkan sepanjang
minggu kecuali pada hari Rabu Abu dan setiap hari Jumat. Dispensasi
diberikan untuk mengkonsumsi produk-produk hewani jika orang melakukan
kerja berat, dan akhirnya peraturan ini pun sepenuhnya dihapuskan.
Selama bertahun-tahun perubahan-perubahan terus dilakukan dalam
merayakan Masa Prapaskah, menjadikan praktek kita sekarang tidak saja
sederhana, tetapi juga ringan. Rabu Abu masih menandai dimulainya Masa
Papaskah, yang berlangsung selama 40 hari, tidak termasuk hari Minggu.
Peraturan-peraturan pantang dan puasa yang berlaku sekarang amatlah
sederhana: Pada hari Rabu Abu dan Jumat Agung, umat beriman berpuasa
(makan kenyang hanya satu kali dalam sehari, ditambah makan sedikit
untuk menjaga daya tahan tubuh) dan berpantang setiap hari Jumat selama
Masa Prapaskah. Umat masih dianjurkan untuk “merelakan sesuatu” sesuatu
selama Masa Prapaskah sebagai mati raga. (Catatan menarik adalah bahwa
pada hari Minggu dan hari-hari raya, seperti Hari Raya St. Yusuf (19
Maret) dan Hari Raya Kabar Sukacita (25 Maret), orang bebas dan
diperbolehkan makan / melakukan apa yang telah dikorbankan sebagai mati
raga selama Masa Prapaskah). Namun demikian, senantiasa
diajarkan kepada saya, “Jika kamu berpantang sesuatu demi Tuhan,
teguhkan hatimu. Janganlah berlaku seperti orang Farisi yang suka
mencari-cari kesempatan.” Lagipula, penekanan haruslah dititikberatkan
pada melakukan kegiatan-kegiatan rohani, seperti ikut serta dalam Jalan
Salib, ambil bagian dalam Misa, adorasi di hadapan Sakramen Mahakudus,
meluangkan waktu untuk berdoa secara prbadi, membaca bacaan-bacaan
rohani, dan yang terutama menerima Sakramen Tobat dengan baik dan
memperoleh absolusi. Meskipun praktek perayaan dapat berubah dan
berkembang dari jaman ke jaman, namun fokus Masa Prapaskah tetap sama:
yaitu menyesali dosa, memperbaharui iman, serta mempersiapkan diri
menyambut perayaan sukacita misteri keselamatan kita. * Fr. Saunders is pastor of Our Lady of Hope Parish in Potomac Falls.
sumber : “Straight Answers: History of Lent” by Fr. William P.
Saunders; Arlington Catholic Herald, Inc; Copyright ©2002 Arlington
Catholic Herald. All rights reserved; www.catholicherald.com Diperkenankan mengutip / menyebarluaskan artikel di atas dengan mencantumkan: “diterjemahkan oleh YESAYA: www.indocell.net/yesaya atas ijin The Arlington Catholic Herald.”
»» READMORE...
sebaiknya kamu tahu mengapa dalam Gereja Katolik itu masa Prapaskah selama 40 hari. Mari simaklah postingan berikut ini :
Pada awalnya, empat puluh hari masa tobat dihitung dari hari Sabtu sore
menjelang Hari Minggu Prapaskah I sampai dengan peringatan Perjamuan
Malam Terakhir pada hari Kamis Putih; sesudah itu dimulailah Misteri
Paskah. Sekarang, Masa Prapaskah terbagi atas dua bagian. Pertama, empat
hari dari Hari Rabu Abu sampai Hari Minggu Pra-paskah I. Kedua, tiga
puluh enam hari sesudahnya sampai Hari Minggu Palma. Masa Prapaskah
bagian kedua adalah masa Mengenang Sengsara Tuhan.
Makna empat
puluh hari dapat ditelusuri dari kisah Musa yang sebagai wakil Hukum
(Taurat) dan Elia yang sebagai wakil Nabi. Musa berbicara dengan Tuhan
di gunung Sinai dan Elia berbicara dengan Tuhan di gunung Horeb, setelah
mereka menyucikan diri dengan berpuasa selama empat puluh hari
(Keluaran 24:18, IRaja-raja 19:8). Setelah dibaptis, Tuhan Yesus
mempersiapkan diri untuk tampil di hadapan umum juga dengan berpuasa
selama empat puluh hari di padang gurun. Di sana Ia dicobai setan dengan
serangan pertamanya yaitu rasa lapar. Serangan yang sama digunakannya
juga untuk mencobai kita agar kita gagal berpantang dan berpuasa dengan
godaan keinginan daging. Kemudian setan berusaha membujuk Yesus untuk
menjatuhkan diri-Nya agar malaikat-malaikat dari surga datang untuk
menatang-Nya. Setan mencobai kita juga dengan kesombongan, padahal
kesombongan sangat berlawanan dengan semangat doa dan meditasi yang
dikehendaki Tuhan. Untuk ketiga kalinya Setan berusaha membujuk Yesus
dengan janji akan menjadikan Yesus sebagai penguasa jagad raya. Setan
mencobai kita dengan keserakahan serta ketamakan harta benda duniawi,
padahal Tuhan menghendaki kita beramal kasih dan menolong sesama kita.
Selama Masa Prapaskah selayaknya kita hidup sebagai anak-anak terang,
karena terang hanya berbuahkan kebaikan dan keadilan dan kebenaran.
(Efesus 5:8-9).
sumber : Catholic Online Lenten Pages; www.catholic.org/lent/lent.html
»» READMORE...
;